3 Antisipasi Efek Corona yang Mungkin Aja Keputusan Fatal, Kok Bisa?

Efek corona telah membuat orang-orang di banyak negara diselimuti kecemasan. Penularan virus corona yang terbilang cepat mendorong orang-orang buat mengambil keputusan yang dianggap tepat, tapi bisa aja fatal.

Sejauh ini, 148 negara berada dalam pantauan terkait infeksi yang disebabkan virus ini. Efek corona seperti yang tercatat dalam Data Mapping 2019-nCoV Johns Hopkins University telah menulari lebih dari 169 ribu orang di dunia.

Dari banyaknya yang tertular, lebih dari 77 ribuan orang dinyatakan sembuh. Sementara sekitar 6.513 orang dinyatakan meninggal dunia.

Indonesia termasuk salah satu negara yang terpapar efek corona. Sampai tulisan ini dibuat, sebanyak 117 orang dinyatakan positif terjangkiti virus ini. 

Berita terakhir menyebutkan, jumlah pasien yang sembuh mencapai delapan orang. Sementara pasien yang gak tertolong berjumlah lima orang.

Publik di Indonesia masih menanti-nanti kabar terbaru soal kasus virus corona sambil bersiap terhadap kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. 

Keputusan belanja kebutuhan pokok dalam jumlah besar seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu pasca pengumuman temuan corona di Indonesia menjadi salah satu langkah antisipatif yang diambil.

Padahal, keputusan yang mungkin dianggap tepat tersebut bisa aja berujung kesalahan yang fatal lho. Kok bisa? Berikut ini beberapa keputusan yang mungkin dianggap tepat, tapi sebenarnya belum tentu keputusan yang baik.

1. Panic buying

Panic buying efek corona

Perkembangan kasus virus corona di dunia begitu mudah diketahui banyak orang, termasuk oleh mereka yang ada di Indonesia. China adalah salah satu negara yang paling disorot atas merebaknya virus corona.

Perkembangan virus yang diberi nama COVID-19 di negara tersebut selalu menghiasi halaman berita. 

Salah satu yang menjadi berita adalah langkanya masker di negara tersebut karena orang-orang (termasuk mereka yang sehat) berbondong-bondong membelinya.

Kelangkaan masker juga disebabkan pembatasan kegiatan usaha di China. Pembatasan tersebut bertujuan buat memperlambat penularan virus corona.

Pada akhirnya, Pemerintah China mengisolasi (lockdown) Kota Wuhan yang menjadi pusat penyebaran virus. Orang-orang yang tinggal di Kota Wuhan pun bereaksi dengan berbelanja barang-barang kebutuhan.

Kepanikan yang melanda orang-orang Wuhan otomatis mendorong mereka memborong barang-barang kebutuhan yang tersedia. Situasi ini pun disebut sebagai panic buying.

Panic buying adalah belanja besar-besaran yang didorong situasi tertentu (semisal bencana) dengan tujuan mengantisipasi terjadinya kelangkaan atau kenaikan harga. 

Bukan di China saja, panic buying ternyata juga terjadi di beberapa negara, antara lain Hong Kong, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, dan masih banyak lagi.

Di Indonesia panic buying terjadi di Jakarta. Saat Kementerian Kesehatan mengonfirmasi temuan orang yang terjangkiti virus corona, saat itu pula banyak orang mendatangi pusat perbelanjaan dan membeli banyak barang kebutuhan.

Selain khawatir tertular virus corona, mereka juga khawatir kalau Pemerintah sewaktu-waktu memutuskan buat karantina Jakarta. Alhasil, keberadaan masker mendadak langka. Begitu juga dengan ketersediaan hand sanitizer.

Konsekuensi di balik panic buying

Keadaan panik sudah menjadi naluri alamiah manusia. Sulit buat menyalahkan mereka yang panik lalu belanja banyak barang kebutuhan dalam situasi sekarang ini. 

Sekali pun terkesan irasional, panic buying menjadi cara menghilangkan rasa was-was dan mendapatkan kembali ketenangan. Tindakan ini bukannya tanpa konsekuensi.

Panic buying berimbas pada kelangkaan beberapa barang di pasaran, seperti masker, vitamin, suplemen, dan hand sanitizer. Orang-orang yang sebenarnya lebih membutuhkan (orang sakit) semisal membutuhkan masker gak bisa mendapatkannya dengan mudah.

Tingginya permintaan barang, tapi ketersediaannya terbatas ini kemudian dimanfaatkan spekulan dadakan yang menjual barang-barang tersebut dengan harga yang tinggi demi keuntungan yang sebesar-besarnya. Benar-benar sangat merugikan, bukan?

2. Lockdown

Lockdown efek corona

Kosakata lockdown sangat keras gaungnya di media sosial. China yang mengisolasi Kota Wuhan seakan menjadi contoh betapa bijaknya Pemerintah dalam menanggulangi penularan infeksi akibat COVID-19.

Pemerintah China sejauh ini berdasarkan informasi yang beredar hanya mengisolasi Kota Wuhan sekalipun penyebaran virus merata di seluruh tempat. 

China gak sendiri mengambil keputusan lockdown Kota Wuhan. Banyak negara yang menerapkan kebijakan serupa, seperti: 

  • Italia, lockdown sejak 10 Maret
  • Denmark, lockdown sejak 14 Maret 
  • Irlandia, lockdown sejak 12 Maret 
  • Spanyol, lockdown sejak 15 Maret
  • Prancis, lockdown sejak 14 Maret
  • Polandia, lockdown diumumkan sejak 13 Maret
  • Filipina, lockdown (Kota Manila) sejak 15 Maret
  • Malaysia, lockdown sejak 18 Maret.

Upaya China sejauh ini dalam mengisolasi Kota Wuhan membuahkan hasil yang positif. Penyebaran virus melambat karena interaksi antarmanusia berkurang (social distancing) sebagai konsekuensi dari lockdown.

Tingkat kesembuhan pasien infeksi virus corona di China terbilang tinggi. Dari 81.049 orang, sebanyak 68.777 pasien dinyatakan sembuh. Sementara 3.230 pasien gak terselamatkan.

Di Provinsi Hubei, lokasi Kota Wuhan, tingkat kesembuhannya tercatat paling tinggi, yaitu mencapai 55.987 orang. Sementara korban yang meninggal mencapai 3.111 orang.

Konsekuensi di balik Lockdown

Lockdown Kota Wuhan yang dilakukan Pemerintah China sukses memperlambat penularan virus sehingga banyak pasien yang tertangani. Itulah kenapa banyak negara yang akhirnya melakukan kebijakan serupa.

Namun, konsekuensinya adalah kegiatan ekonomi di Kota Wuhan dan sekitarnya terhenti dengan adanya isolasi. Apalagi Kota Wuhan masuk dalam jajaran 10 kota di China dengan PDB terbesar.

Dalam skala nasional, efek corona bahkan telah memukul perekonomian China. Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan pertumbuhan ekonomi China cuma mencapai 4,5 persen sepanjang tahun 2020.

Perkiraan EIU tersebut lebih rendah dibandingkan capaian pertumbuhan ekonomi China tahun 2019 lalu yang berada di persentase 6,0 persen.

Berangkat dari China, efek corona kemudian menyasar banyak negara dan turut berefek negatif terhadap ekonomi secara global. 

Di Indonesia desakan lockdown sangat gencar di media sosial. Padahal, opsi tersebut di sisi ekonomi dapat sangat merugikan. Sampai saat ini gak terpikirkan oleh Presiden Joko Widodo buat mengambil keputusan isolasi tersebut.

Seperti yang diungkap dalam artikel Krisis Ekonomi Mengancam Indonesia Jika Lockdown di Jakarta?, krisis ekonomi dapat mengguncang Jakarta seandainya isolasi kota dilakukan.

Bukan cuma Jakarta yang terdampak krisis, perekonomian nasional bisa saja terseret dalam pusaran krisis tersebut. Sekadar diketahui, sekitar 70 persen uang di Indonesia berputar di Jakarta. Dampak lockdown ini masih ditambah dengan terganggunya distribusi barang yang masuk ke Jakarta. 

Langkanya barang yang masuk ke Jakarta dapat memicu lonjakan inflasi 4 – 6 persen. Pasalnya, Jakarta termasuk kota penyumbang inflasi terbesar, yaitu 20 persen dari total nasional.

Meski banyak negara melakukan lockdown, faktanya banyak juga negara yang gak memberlakukan opsi tersebut. Sebut saja Singapura yang gak mengambil kebijakan tersebut, tapi bisa meminimalkan penularan.

Lalu ada Korea Selatan dengan jumlah orang tertular mencapai 8.320 jiwa, tapi telah berhasil menyembuhkan sebanyak 1.137 jiwa.

3. Panic selling

Panic selling efek corona

Mereka yang berinvestasi di pasar modal sangat khawatir dengan perkembangan kasus virus corona saat ini. 

Sampai akhirnya indeks bursa saham di banyak negara terkoreksi karena banyaknya pemodal yang menjual saham (panic selling).

Panic selling adalah penjualan dalam skala besar di pasar modal ataupun pasar saham yang akhirnya memicu penurunan harga.

Saat harga saham terkoreksi, harga emas beranjak naik karena dinilai bisa melindungi nilai kekayaan (hedge) dari risiko perlambatan ekonomi akibat efek corona. 

Nyatanya, kenaikan harga emas ada batasnya. Emas pun ikut terkoreksi karena orang-orang pada akhirnya lebih membutuhkan dana tunai (cash).

Di Indonesia, efek corona telah mengoreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedemikian dalam. Pada awal Januari 2020, IHSG berada di kisaran angka 6.325. Kini per Maret 2020, angkanya di kisaran 4.494.

Banyak saham dijual yang kemudian bikin harganya terjun, gak terkecuali saham berkapitalisasi pasar Rp 10 triliun alias saham blue chip.

Menurunnya indeks (bearish) di banyak bursa saham ini menjadi sinyal pesimisnya para pemodal memandang kondisi ekonomi ke depan. 

Beberapa langkah pun diambil buat mengantisipasi perlambatan ekonomi. Salah satunya yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang memangkas suku bunga acuan.

Konsekuensi di balik panic selling

Sentimen cukup berperan dalam perubahan harga saham. Sentimen positif mendorong kenaikan harga (bullish), sedangkan sentimen negatif memicu penurunan harga (bearish).

Keputusan menjual saham sebagai bentuk reaksi atas efek corona emang menjadi sentimen negatif. Tindakan tersebut sah saja dilakukan demi menyelamatkan modal yang diinvestasikan.

Di sisi lain, aksi menjual saham secara masif memotivasi trader atau investor lainnya buat menjual. Alhasil, panic selling pun terjadi.

Mereka yang terlambat menjual buat menyelamatkan modal dan keuntungan mau gak mau memilih cut loss. Konsekuensinya, bukan cuma keuntungan yang hilang, modal pun juga berkurang karena aksi jual rugi (cut loss).

Tiga keputusan di atas emang gak mudah dijalankan. Di satu sisi keputusan-keputusan di atas bisa meredam efek corona atau menghindarkan kita dari keparahan yang bisa aja terjadi.

Namun, di sisi lain dampak setelah diambilnya keputusan tersebut juga gak kalah mengkhawatirkan. Dalam situasi seperti ini, mendengar imbauan pemerintah menjadi cara meredam kekhawatiran. 

Data telah menunjukkan tingkat kesembuhan akibat infeksi virus corona terus meningkat. Dengan percaya pada pemerintah dan mengikuti instruksinya, kita bisa bersama-sama menghadapi situasi sulit sekarang ini. 

Sampai pada waktunya nanti semua kembali normal dan kegiatan ekonomi pun kembali bergairah. Semoga informasi di atas bermanfaat! (Editor: Chaerunnisa)

Leave a Comment