Eksistensi data center jelang era industri 4.0 memang sangat krusial. Ke depannya, permintaan hal ini diprediksi bakal melonjak seiring makin banyaknya perusahaan startup yang bergerak di bidang teknologi.
Jelas saja, hal ini disebabkan adanya transformasi teknologi digital seperti Cloud Computing, Big Data dan Internet of Things (IoT). Ini akan menuntut pengolahan data dalam skala besar.
Alhasil fasilitas data center pun harus ditambah. Tentunya, fasilitas itu harus sanggup memiliki kapabilitas olah data dalam skala besar, andal, dan memiliki keamanan tingkat tinggi.
Kira-kira apa sih yang jadi alasan mengapa data itu harus dilindungi? Seberapa pentingkah hal satu ini? Yuk, simak ulasannya di sini:
1. Market size data center di Indonesia kecil

Dalam urusan penyimpanan data, percaya gak percaya nih Indonesia itu masih kalah sama negara-negara Asia Pasific lainnya.
Tepat pada 13 November 2019, MoneySmart berkesempatan mengunjungi acara Coffee Talk: ”Hyperscale Data Center Lokal, Perkuat Ekosistem Digital Indonesia 4.0,” yang diselenggarkan di kantor PT DCI Indonesia, Equity Tower, SCBD Sudirman.
Dalam paparan di diskusi tersebut dijelaskan, market size data center di Tokyo, Jepang mencapai 718 megawatt. Sementara itu, Singapura 357 megawatt, Sydney 293 megawatt, dan Hong Kong 283 megawatt. Indonesia ada berapa ya?
Usut punya usut, Indonesia ternyata cuma 50 megawatt. Kecil banget gak sih! Sementara itu tingkat okupansinya juga cuma 30 megawatt.
Padahal penduduk Indonesia saja mencapai 267 juta jiwa dan semuanya pengguna internet aktif! Sedangkan Singapura yang cuma 5 ribuan jiwa saja, kapasitas data centernya sampai 357 megawatt. Kok bisa ya?
“Harusnya kita sedih, karena besarnya data center harusnya sebanding dengan besarnya populasi,” ungkap CEO PT DCI Indonesia, Toto Sugiri, dalam diskusi tersebut.
“Karena Singapura bisa menempatkan diri sebagai regional center untuk Asia Tenggara. Perusahaan-perusahaan teknologi besar justru menempatkan data khusus regional Asia di Singapura, jadi kemungkinan besar data-data yang semestinya ada di Indonesia malah disimpan di Singapura,” sambungnya.
Baca juga: Jokowi Sebut Data Lebih Berharga daripada Minyak
2. Data sama dengan minyak bumi saat ini

Apa hubungannya data sama minyak bumi? Maksudnya, data menjadi komoditas yang penting, sama halnya seperti minyak bumi.
“Data is the next oil (setara dengan minyak), sekarang kalau minyaknya saja ada di negara lain ya itu gimana? Sama saja kayak kita penghasil minyak tapi kita malah impor bensin. Bukan begitu?” imbuh Toto.
Ini merupakan sebuah anomali yang harus disikapi. Apakah kita gak punya infrastruktur untuk penyimpanan data? Sehingga kita kehilangan data-data itu?
Gak juga lho, ada sembilan pemain besar dala bisnis data center ini. Salah satunya, termasuk DCI.
3. PP PTSE 2019 dinilai ancam kedaulatan data

Inilah hal yang tampaknya disoroti Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO), sebuah asosiasi yang berisikan para pegiat bisnis data center di Indonesia.
Menurutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik atau PP PSTE harus direvisi.
“Kami prihatin bahwa, di pasal 20 ayat tiga, data-data privat Indonesia masih bisa dimining, dihost, dan dianalisa di luar negeri. Dari segi bisnis atau kedaulatan data, ini jelas merugikan Indonesia,” tegas Ketua IDPRO Hendra Suryakusuma.
Gak heran kalau peluang mengenai kebocoran data memang sangat besar. Kita saja mengizinkan pihak asing mengeksploitasi data-data kita.
Hendra pun menyarankan agar pemerintah merampungkan terlebih dulu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
4. Bahaya kalau data perbankan dan e-commerce ditaruh di luar negeri

Dalam kesempatan sama, Co-Founder & Vice Chairman Tokopedia, Leontinus Alpha Edison dan Group Head IT Infrastructure Management Bank Danamon, Titus Jonathan, juga hadir dalam diskusi tersebut dan menyuarakan pendapatnya soal penyimpanan data.
Bayangkan saja, ada 66 juta merchant yang ada di Tokopedia. Itu baru satu ecommerce, belum lagi dari BukaLapak atau ecommerce-ecommerce lain.
Selain itu, Bank Danamon juga menganggap masalah data ini menjadi hal yang sangat penting. Sebagai perusahaan perbankan, mereka pun berpikir bahwa menyimpan data di luar negeri memang kurang tepat, dan perbankan membutuhkan infrastruktur penyimpanan data yang baik.
“Sebagai institusi keuangan, keamanan data nasabah menjadi prioritas utama kami. Kami mengelola dan menyimpan data tersebut di data center yang berlokasi di Indonesia, yang didukung infrastruktur andal dengan standar keamanan yang tinggi,” jelas Titus.
“Ketika terjadi insiden seperti listrik PLN yang mati setengah hari kita mungkin heboh bagaimana soal data center kita. Makanya infrastruktur data center itu ya penting, tapi berhubung kita berpartner dengan DCI, nah DCI sendiri gak mengatakan apa-apa, berarti data aman,” tandasnya.
5. DCI bangun Data Center Lokal terbesar se-Indonesia!

Melihat market size data center Indonesia yang masih kecil, DCI telah membangun gedung data center ketiga yang dinamakan JK3 sebagai salah satu bagian dari fasilitas hyperscale data center lokal terbesar di Indonesia.
JK3 memiliki critical IT load sebesar 12 Megawatt (MW) dan beroperasi di awal tahun 2020 mendatang.
Pembangunan JK3 adalah rangkaian komitmen DCI untuk merampungkan fasilitas hyperscale data center campus seluas 8,5 hektar dengan total kapasitas lebih dari 150 MW, yang berlokasi di Cibitung, Jawa Barat.
Semoga saja dengan bertambahnya gedung-gedung yang bakal jadi “hotel-nya” data ini, dan direvisinya PP PTSE, maka kedaulatan data bisa makin terlindungi ya! (Editor: Chaerunnisa)